Naskah Sunda: Khazanah, Akses, dan Identitas
Urang buka tutungkusan
Nu kahalang ku pipinding
Dina gebang séwu lontar
Dina tulis titis tulis
Maca uga na waruga
Atra sétra kanti sukma
Pendahuluan
Satu
tahun yang lalu, tepatnya tanggal Juli tahun 2010, Masyarakat
Pernaskahan Nusantara (MANASSA), sebuah organisasi profesi di Indonesia
yang bergelut di bidang pernaskahan, mengadakan Simposium Internasional
Pernaskahan Nusantara (SIPN) yang ke-13. Tema yang diangkat dalam
simposium tersebut kiranya cukup strategis, yaitu “Akses dan
Identitas”. Dengan mengangkat tema tersebut, kondisi dunia pernaskahan
Nusantara dewasa ini dapat terlukiskan dengan cukup jelas, sekaligus
memunculkan persoalan-persoalan baru yang mendorong kita untuk
merumuskan pemecahan masalah seputar dunia pernaskahan dewasa ini.
Sebagaimana
diketahui, naskah (manuskrip) sebagai benda yang memiliki nilai budaya
masa silam, memberikan sumbangan informasi yang berharga bagi bangsa
Indonesia, karena pada dasarnya naskah-naskah itu merupakan dokumen yang
mengandung pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari bangsa, suku bangsa,
atau kelompok sosial budaya tersebut.[1] Perlahan tapi pasti, melalui
penelitian-penelitian terhadap naskah nusantara, bagian-bagian informasi
penting dari masa silam itu dapat terkumpulkan sehingga pada akhirnya
membentuk identitas bangsa yang mandiri.
Langkah awal yang
dapat membangkitkan gairah penelitian terhadap naskah Nusantara adalah
dengan membuka akses yang seluas-luasnya terhadap keberadaannya yang
tersebar di seluruh dunia, baik di lembaga penyimpanan naskah, maupun
yang masih tersebar di kalangan masyarakat. Sebuah buku panduan susunan
Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman yang cukup komprehensif menuju
khazanah naskah sedunia telah terbit pada tahun 1999.[2] Karya yang
luar biasa itu merupakan panduan yang mengantarkan pembacanya mengetahui
kekayaan Naskah Nusantara yang tersimpan di berbagai negara.
Menurut
perkiraan, Naskah Nusantara berjumlah puluhan ribu, atau mungkin lebih,
karena setelah memasuki milenium ketiga, berbagai proyek inventarisasi
dan digitalisasi naskah yang belum tercatat dalam buku tersebut baru
saja dimulai. British Library, misalnya, melalui program Endangerous Archive Program (EAP)
telah meloloskan 12 program digitalisasi Naskah Nusantara sejak tahun
2006-2010, mencakup 12 tempat yang berbeda di seluruh Indonesia. Lebih
dari seribu naskah telah dialih-mediakan, dan beberapa salinannya kini
terdapat di lembaga-lembaga semisal Perpustakaan Nasional RI, Bayt
Al-Qur’an, dan Museum-museum daerah tempat naskah tersebut ditemukan.[3]
Demikian halnya dengan proyek yang didanai Centre for Documentation & Area-Transcultural Studies (C-DATS)
di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) Jepang yang telah
menghasilkan beberapa katalog dan hasil digitalisasi yang memuat ratusan
judul naskah. Melalui program ini, naskah-naskah yang terdapat di
Palembang, Minang, dan Aceh (Ali Hasymi dan Tanoh Abee) dapat diakses
dengan lebih mudah oleh masyarakat.[4] Hasil temuan-temuan mutakhir
terhadap koleksi naskah yang belum tercatat sebelumnya itu meniscayakan
kesempatan, sekaligus tantangan, bagi generasi pewaris kebudayaan saat
ini untuk melakukan kajian-kajian secara lebih mendalam.
Lantas,
bagaimana dengan keadaan naskah Sunda dewasa ini? Bagaimana akses
kepada koleksi naskahnya? Dan sejauh mana sumbangan kajian naskah Sunda
dalam membentuk identitas kesundaan? Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk
menjawab persoalan-persoalan tersebut secara mendalam, mengingat
persoalan tersebut bukanlah persoalan sederhana, tetapi setidaknya,
tulisan ini dapat dijadikan pengantar bagi siapa saja yang berminat
mengkaji naskah Sunda secara lebih mendalam.
Khazanah
Naskah
Sunda merupakan salah satu warna dari bianglala naskah Nusantara.
Berdasarkan katalogus, laporan penelitian, dan lain-lain, jumlah naskah
Sunda cukup banyak, meski jumlahnya tidak sebanyak naskah Jawa dan
Melayu. Menurut catatan Edi S. Ekadjati, jumlah naskah Sunda mencapai
ribuan, dan sekitar 2500 naskah telah diinventarisasi[5].
Keberadaan
Naskah Sunda saat ini tersebar baik di lembaga penyimpanan naskah
maupun di masyarakat perorangan. Di lembaga penyimpanan naskah yang
berada di luar negeri, dapat diketahui bahwa Universiteit Bibliotheek
Leiden menyimpan 785 naskah, Inggris menyimpan 3 naskah, Swedia tercatat
menyimpan 1 naskah. Sedangkan yang tersimpan di lembaga penyimpanan
dalam negeri dapat diketahui bahwa Perpustakaan Nasional RI menyimpan
467 naskah, Museum Negeri Sri Baduga menyimpan sekitar 150 naskah,
Museum Prabu Geusan Ulun-Sumedang 16 naskah, Museum Cigugur-Kuningan 18
naskah, Kabuyutan Ciburuy 27 naskah, dan Kraton Cirebon (Kasepuhan,
Kanoman, Kaprabonan) sekitar 144 naskah.
Selain naskah
koleksi lembaga, naskah koleksi perorangan telah dicatat dalam berbagai
katalog. Tim dari EFEO dan Puslit Arkenas, pada tahun 1970-1980an
mencatat 955 naskah-naskah Islam koleksi perorangan di Jawa Barat.
Ekadjati (1988) juga mencatat 554 naskah perorangan. Bahkan boleh jadi,
masih banyak lagi naskah yang masih tersimpan di masyarakat dan belum
terinventarisasi.
Penyebaran naskah Sunda
di lembaga-lembaga penyimpanan baik di dalam maupun luar negeri
menunjukkan data yang cukup menarik. Naskah Sunda yang berada di luar
negeri kebanyakan beraksara Jawa, di samping aksara Latin dan Arab
pégon. Tetapi, naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat pada
umumnya beraksara Arab Pégon dan tidak ada yang beraksara Jawa. Mikihiro
Moriyama, ahli literasi Sunda dari Jepang, menjawab hal ini dengan
cukup meyakinkan. Menurutnya, naskah-naskah dalam aksara Jawa
dikumpulkan oleh orang Belanda karena pandangan mereka tentang bahasa
Sunda.[6] Aksara Jawa atau biasa dikenal dengan istilah cacarakan
dianggap sebagai aksara orang Sunda. Mereka rupanya mengesampingkan
aksara Pégon, padahal aksara ini digunakan secara luas oleh masyarakat
Sunda waktu itu. Keadaan demikian yang membuat Edi S. Ekadjati
berkesimpulan, bahwa naskah yang berada di Leiden tidak dapat
menerangkan dinamika kebudayaan sesungguhnya yang terjadi pada
masyarakat Sunda.
Baik dari segi fisik maupun isinya, khazanah naskah Sunda cukup kaya. Naskah Sunda Kuna ditulis diatas daun lontar, daun gebang, bambu, dan kertas daluwang; sementara naskah Sunda periode klasik ditulis di atas kertas daluwang, kertas Eropa dan kertas pabrik. Jumlah naskah kertas lebih banyak dari naskah-naskah daun.
Kata lontar merupakan bentukan metatesis dari ron ‘daun’ dan tal ‘tal’. Dalam Sanghyang Sasana Maha Guru, teks Sunda Kuna dari abad ke 16, tulisan diatas daun lontar disebut carik ‘goresan’
dan fungsi bagi pembacanya yaitu untuk mendapatkan keutamaan. Sebagian
besar teks-teks yang tertera dalam alas tulis ini berbentuk puisi
berpola delapan suku kata.[7] Daun lontar ditulis dengan cara digores
menggunakan pengutik (péso pangot). Untuk memunculkan warna
hitam, ruang yang telah digores tersebut kemudian dilumuri dengan minyak
dari kemiri yang telah ditumbuk dan dipanaskan. Sulit menentukan sejak
atau sampai kapan naskah lontar dipergunakan sebagai alas tulis naskah
Sunda, karena sejauh ini tidak ada satupun naskah lontar yang berangka
tahun. Tetapi, dari kandungan isi naskah-naskah tersebut kita dapat
mengetahui bahwa naskah lontar setidaknya dihasilkan dari masa periode
pra-Islam.
Selain daun lontar, alas tulis daun yang digunakan menuliskan naskah Sunda (Kuna) adalah gebang. Dalam teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru (bagian ke-3), tulisan diatas daun gebang (sastra munggu ring gebang) disebut ceumeung ‘hitam’. Jelas kiranya, bahwa yang dimaksud gebang ini adalah apa yang disebut oleh para ahli kemudian sebagai nipah.
Tulisan diatas gebang ditulis menggunakan tinta hitam. Menurut Holle,
tinta tersebut merupakan tinta organik yang berasal dari hasil olahan
tumbuhan nagasari dan damarsela, sementara alat tulisnya berupa pena dari lidi pohon aren (harupat).[8] Naskah tertua yang ditulis dalam media ini adalah Arjunawiwaha (kropak 641 koleksi Perpustakaan Nasional RI) yang berangka tahun 1256 saka (±1334 M).
Penggunaan daluang (Broussonetia papyryfera Vent) sebagai alas tulis nakah Sunda telah terjadi setidaknya dari abad ke-18. Hal tersebut berdasarkan pada naskah Waruga Guru yang
ditulis dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuna. Naskah WG
ditulis diatas kertas daluang. Dalam tradisi penulisan Sunda Kuna, kata
daluang disebutkan dalam teks Sanghyang Swawar Cinta[9]. Dalam teks tersebut, pengertian daluang merujuk pada ‘kulit kayu’ (daluwang kulit ning kayu). Dengan demikian, daluang bukan berarti pohonnya, melainkan kulit kayunya. Pohonnya sendiri oleh masyarakat Sunda disebut saéh.
Sepanjang
sejarahnya, aksara yang diterakan dalam naskah Sunda ada 5 jenis
aksara, yaitu aksara Sunda Kuna dan aksara Buda (Gunung) untuk naskah
Sunda periode pra-Islam, serta aksara Arab Pégon, aksara Cacarakan
(Sunda-Jawa), dan aksara Latin untuk naskah-naskah Sunda klasik. Bahasa
yang digunakan dalam naskah Sunda ialah bahasa Sunda, Sunda Kuna, Jawa,
Jawa Kuna, Arab, dan Melayu. Bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna digunakan
pada naskah-naskah daun lontar, nipah, dan bambu atau dari periode Kuna
(Abad 14-18). Sementara bahasa Sunda (baru), Jawa (baru), Arab, dan
Melayu digunakan pada naskah-naskah dari periode Klasik (Abad 18 - awal
abad 20).
Isi naskah Sunda bermacam-macam. Beberapa
penyusun katalog telah berupaya melakukan pengelompokan isi naskah.
Ekadjati membagi naskah berdasarkan isinya ke dalam kelompok agama,
etika, hukum/adat-istiadat, mitologi/legenda, pendidikan, pengetahuan,
primbon, sastra, sastra sejarah, sejarah, seni.[10] Sementara Darsa dan
Ekadjati mengelompokkan naskah Sunda yang terdapat di lima lembaga di
Jawa Barat berdasarkan isi, meliputi: Sejarah, Islam, Sastra, Primbon
dan Mujarobat, Adat Istiadat, dan Lain-lain.
Akses
Sebelum kedatangan Belanda di Indonesia, naskah Sunda tersimpan di lembaga-lembaga tradisional seperti pesantren dan kabuyutan. Belanda lalu membentuk lembaga ilmiah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen
(BGKW) pada tahun 1778, tetapi baru pada tahun 1845, dibawah
kepemimpinan van Hoevel, naskah-naskah dari wilayah Nusantara, termasuk
Sunda, dikumpulkan dan diakuisisi oleh lembaga tersebut demi kepentingan
Kolonial.[11]
Proses pengumpulan naskah pada waktu itu
rupanya tidak selalu mudah, bahkan sering harus dilakukan melalui
pejabat-pejabat Pribumi di wilayah priangan yang memiliki hubungan baik
dengan elite Belanda. Wiranatakusumah IV (Bupati Bandung), R.A.A
Kusumadiningrat (Bupati Kawali), Muhammad Moesa (1822-1886), Hasan
Mustapa (Penghulu Bandung), R.A.A. Kusumaningrat (Bupati Cianjur) adalah
beberapa penyumbang naskah Sunda dalam jumlah yang cukup banyak.
Kesulitan mendapatkan naskah, demi mendapatkan gambaran tentang
kebudayaan Sunda, itu pernah diungkapkan Van der Tuuk:
“…Saya percaya tetap tidak banyak yang bisa kita katakan selama kaum Muslim yang beradab itu (lazimnya mereka sangat saleh) tidak sudi memperlihatkan kepada kita, orang kafir, jenis sastra yang mereka miliki karena takut miliknya berpindah tangan atau dinodai.”[12]
Sejak
pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20, melalui usaha para
cendikiawan Belanda yang memiliki kedekatan dengan pejabat pribumi
seperti K.F. Holle, C.M. Pleyte, J.L.A. Brandes, Snouck Hurgronje,
naskah-naskah Sunda mulai terkumpul di Batavia (BGKW) dan Leiden
(Universitet Bibliotheek). Setiap naskah yang diakuisisi BGKW dapat
diikuti dalam laporan tahunan Notulen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen.
Selain
dari laporan tahunan tersebut, naskah-naskah Sunda juga diidentifikasi
dan diperikan dengan lebih rinci, terutama dalam terbitan-terbitan
Belanda. K.F. Holle mengumumkan tiga naskah Sunda Kuna pemberian Raden
Saleh dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige
Lontar-Handschriften Afkomstig uit de Soenda-landen, door Radhen Saleh
aan het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten
Geschenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali (1867). Tentu, yang diupayakan Holle waktu itu sebenarnya merupakan upaya awal pendeskripsian naskah yang diakuisisi BGKW.
Pada
tahun 1872, Cohen Stuart, kurator sekaligus anggota eksekutif BGKW,
untuk pertama kalinya menyusun sebuah katalog naskah yang dimiliki
lembaga tersebut secara lengkap. Ia menyusun daftar seluruh naskah yang
tersimpan di lembaga tersebut, termasuk sekitar 21 naskah Sunda Kuna
yang tersimpan di peti.[13]
Baru sekitar 56 tahun setelah
terbit katalog Cohen Stuart, R. Memed Sastrahadiprawira, sastrawan Sunda
terkemuka, menjadi orang Sunda pertama yang menyenaraikan 186 naskah
Sunda yang dimiliki oleh BGKW. Katalognya yang ditulis dalam bahasa
Belanda itu terbagai menjadi dua bagian, yaitu daftar naskah dan
keterangan dari daftar naskah tersebut.[14] Memed juga mencatat
keterangan dan rujukan naskah pada terbitan atau katalog-katalog lain
yang berkaitan dengan daftar naskah.
Terbukanya akses
terhadap naskah Sunda dalam jumlah yang cukup banyak tidak terlepas atas
jasa Edi S. Ekadjati, seorang pakar Sejarah Sunda. Sejak tahun 1980-an
ia telah mulai menginventarisasi naskah-naskah Sunda, baik yang
tersimpan di lembaga penyimpanan naskah maupun masyarakat perorangan di
Jawa Barat. Hasil inventarisnya pada tahun 1983 kemudian ditebitkan pada
tahun 1988.
Kondisi naskah Sunda mulai memburuk dan mulai
menuju kerusakan. Karena itu, pada tahun 1990-an, naskah-naskah Sunda
yang telah dicatat dan diinventarisasi delapan tahun sebelumnya itu
kemudian dibuatkan salinan dalam bentuk mikrofilm. Proyek ini
menghasilkan 51 rol mikrofilm, mencakup kurang lebih 1800 naskah.
Naskah-naskah yang dimikrofilmkan tersebut dibuat juga daftarnya dalam
katalog yang disusun oleh Edi. S. Ekadjati & Undang A. Darsa[15].
Tetapi dari 50 rol itu, hanya 30 rol atau sekitar 1040 naskah saja yang
didaftarkan. Mikrofilm tersebut dapat diakses di Perpustakaan Nasional
RI, Arsip Nasional RI, EFEO Paris, dan di Southeast Asian Project
Microform, Chicago, Amerika Serikat.
Memasuki Milenium
ketiga, era mikrofilm digantikan oleh era digital. Sejak tahun 2003,
lembaga-lembaga penyimpanan naskah seperti Perpustakaan Nasional RI
melaksanakan kegiatan digitalisasi naskah, termasuk di antaranya naskah
Sunda. Sementara dari kalangan akademisi, tercatat ada dua proyek
kegiatan digitalisasi yang disponsori oleh British Library, yaitu
digitalisasi naskah Ciburuy (27 naskah) dan naskah Cirebon (13000
halaman naskah). Selain di lembaga donor, salinan hasil digitalisasi
naskah Ciburuy saat ini terdapat di Perpustakaan Nasional RI, sementara
hasil digitalisasi naskah Cirebon terdapat di Bayt Al-Qur’an dan
masyarakat pemilik naskah.
Jumlah naskah Sunda yang cukup
melimpah itu ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah penelitian
yang dihasilkan. Sampai tahun 2000, hanya sekitar 292 judul naskah yang
telah diteliti[16]. Artinya, terlepas dari belum lengkapnya data jumlah
penelitian naskah pada waktu itu, tetapi secara kuantitatif, kesempatan
penelitian atas naskah Sunda masih sangat terbuka.
Identitas
Setelah
era otonomi daerah menggantikan era sentralistik, orang Sunda dan
suku-suku lain di Indonesia mulai menunjukkan perhatian pada
etnisitasnya. Dan persoalan pertama yang sering diperbincangkan dalam
berbagai seminar atau diskusi belakangan ini adalah ‘pencarian kembali’
akar-akar kebudayaan Sunda yang selama ini seolah-olah tercerabut oleh
berbagai persoalan pusat. Tentu, upaya pencarian sekitar identitas ini
perlu mengindahkan sumber-sumber tulisan dan sumber-sumber lisan yang
selama ini belum sempat dikaji lebih jauh.
Agaknya dalam
keadaan inilah, naskah sebagai salah satu sumber pengetahuan kolektif
masyarakat Sunda dalam bentangan sejarah masa lalu, memiliki peranan
yang sangat penting. Dalam perkembangannya, kajian-kajian terhadap
naskah telah memberikan sumbangan yang cukup penting dalam membentuk
identitas tersebut.
Hal demikian setidaknya terjadi pada
tahun 1957, ketika Rukasah S.W (1928-1995) dengan mempergunakan nama
Sungkawa menulis karangan “Ari Urang Sunda bogaeun aksara sorangan?”
(Apakah orang Sunda memiliki aksara sendiri?) dalam majalah “Kiwari”
yang dipimpinnya[17]. Artikel tersebut ditulis setelah membaca artikel
Pleyte yang berjudul “Een Pseudo–Padjadjaransche Kroniek” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land-en Volkenkunde (TBG) pada tahun 1914 yang dilampiri edisi facsimile naskah Waruga Guru.
Nada pertanyaan yang disampaikan dalam artikelnya itu menggambarkan
situasi kebingungan yang dialami oleh penulis, atau bahkan masyarakat
Sunda, karena sampai saat itu yang dianggap aksara Sunda dan dipelajari
di sekolah-sekolah di Jawa Barat adalah aksara Jawa.
Hal
ini membuktikan bahwa sampai pertengahan abad ke-20 orang Sunda sendiri
masih diselimuti keraguan tentang aksara sebagai bagian dari identitas
budayanya. Hal ini cukup mengherankan, mengingat penelitian terhadap
naskah Sunda Kuna yang menggunakan aksara tersebut telah dimulai oleh
Holle pada pertengahan abad ke-19[18]. Holle sendiri menyebut aksara
yang digunakan pada naskah-naskah lontar sebagai oud Sundanesche sementara
para sarjana Belanda yang lain ragu-ragu untuk menyebutkan bahwa
naskah-naskah daun itu ditulis menggunakan aksara Sunda Kuna, padahal
aksara yang digunakan pada naskah-naskah pra-Islam dari skriptorium Jawa
Barat jelas dapat dibedakan dari naskah Jawa Kuna dan Bali serta
memiliki ciri paleografis yang cukup menonjol. Seiring dengan semakin
banyaknya penelitian naskah Sunda Kuna, maka anggapan yang ditanamkan
ahli-ahli Belanda bahwa orang Sunda tidak memiliki aksara sendiri dan
meminjam aksara carakan dari Jawa, dipatahkan secara definitif.
Demikian
halnya dengan kesusastraan Sunda, terutama berkaitan dengan konsepsi
kesusastraan. Pada jaman kolonial, orang Belanda menganggap Sunda tidak
memiliki kesusastraan. Sementara, konsepsi-konsepsi kesusastraan Sunda
belum terumuskan secara komprehensif dan masih meneruskan konsepsi yang
ditanamkan Belanda. Keadaan demikian meniscayakan kita untuk menggali
lebih jauh sumber dari periode yang lebih gelap dalam sastra Sunda.
Periode gelap ini penulis kira dapat dirunut dari periode sebelum arus
modernisasi yang dibawa oleh Belanda. Sumber-sumber yang perlu digali
dari periode tersebut tiada lain berupa tradisi lisan dan tradisi
manuskrip. Upaya Zoetmulder dalam mengkaji sastra Jawa Kuna[19] kiranya
patut ditiru oleh para akademisi Sunda, sehingga benang merah
periodisasi dan konfigurasi kesusastraan Sunda dapat dieksplorasi lebih
jauh.
Upaya J. Noorduyn, yang dilanjutkan oleh sobatnya,
A. Teeuw pada gilirannya telah membukakan cakrawala baru tentang
kesusastraan Sunda (Kuna).[20] Melalui telaahnya atas tiga puisi Sunda
Kuna: Kisah Para Putera Rama dan Rahwana, Pendakian Sri Ajnyana, dan Perjalanan Bujangga Manik, A.Teeuw berani menegaskan bahwa:
Yet I dare to say that these poem
in many place are high value. I think that no present-day reader can
fail to be struck by the poetic quality of certain fragments an
(sequences of) verses[21]
Dari gambaran singkat di
atas, jelaslah bahwa naskah bukan semata-mata sumber dari periode masa
lalu, tetapi dapat menjadi sumber “baru” dalam membuka dimensi
pengetahuan kita akan kebudayaan Sunda masa lalu. Pada akhirnya, melalui
hasil jerih payah pengkajian naskah, kita dapat – meminjam motto
majalah Sunda Cupumanik – nyungsi Sunda nu mandiri “mencari Sunda yang mandiri”.
Penutup
Sebagai
penutup, beberapa saran untuk merevitalisasi naskah kiranya dapat
diajukan. Pertama, jika kita percaya bahwa naskah tidak hanya warisan
leluhur, melainkan titipan anak cucu di generasi mendatang, maka perlu
dilakukan upaya yang berkelanjutan untuk mengidentifikasi,
menginventarisasi, dan membuka akses terhadap keberadaan naskah-naskah
Sunda. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Chaedar Al-Wasilah, bahwa salah
satu kelemahan pewarisan budaya adalah dokumentasi budaya.[22] Mungkin
seperti itulah gambaran yang terjadi dengan naskah Sunda. Masyarakat
pemilik dokumentasi budaya, dalam hal ini naskah, masih ragu untuk
membukanya pada orang lain, meski pemilik tersebut tidak dapat membaca
isinya. Pada akhirnya, naskah-naskah itu tersimpan sebagai ‘benda’
warisan, bukan pengetahuan yang diwariskan. Perhatian utama kiranya
perlu diarahkan kepada naskah-naskah yang masih tersimpan di kalangan
masyarakat perorangan di Jawa Barat. Upaya inventarisasi naskah
per-kabupaten di Jawa Barat seperti yang terjadi pada periode 80-an,
perlu diteruskan. Upaya inventarisasi tersebut dapat disandingkan dengan
upaya digitalisasi naskah melalui pemindaian atau pemotretan.
Kedua,
upaya-upaya mengungkap isi dan kandungan naskah melalui studi filologi
perlu terus ditingkatkan. Kondisi kekinian juga menuntut kajian-kajian
interdisipliner naskah. Kajian naskah perlu disandingkan dengan
ilmu-ilmu terapan semisal kedokteran, pertanian, arsitektur, seni,
bahasa, sastra dan lain-lain.
Ketiga, perlu adanya
pewarisan ilmu pernaskahan, terutama berkenaan dengan naskah Sunda,
kepada generasi muda. Ini juga persoalan yang cukup serius, karena
profesi filolog boleh jadi dianggap sebagai profesi yang ‘tidak
menjanjikan’. Filolog hanya dibutuhkan oleh museum, perpustakaan,
perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penyimpan naskah. Di sisi lain,
beban yang dipikul para filolog tentu cukup berat apabila melihat jumlah
naskah yang sangat banyak.
Keempat, perlu adanya pusat
dokumentasi naskah Sunda yang terintegrasi. Dalam hal ini,
lembaga-lembaga penyimpanan naskah, lembaga-lembaga pendidikan tinggi,
dan pemerintah daerah perlu duduk bersama untuk mewujudkan hal tersebut.
Hal ini diperlukan untuk menghimpun data naskah berikut hasil
penelitiannya, sehingga pada akhirnya dapat memberikan gambaran
menyeluruh tentang naskah Sunda sekaligus membukakan jalan bagi para
peneliti baru yang hendak mengkaji naskah.
Kalimat yang
penulis kutip di atas adalah isi lirik Kidung Pajajaran, salah satu di
antara sekian banyak judul tembang Cianjuran. Meski tidak mengetahui
secara pasti siapa pengarangnya, tetapi penulis sangat mengagumi lirik
itu. Pastilah penulisnya seorang Sunda yang memiliki visi dan kesadaran
sejarah yang tinggi. Secara keseluruhan isi lirik di atas adalah ajakan
untuk membuka apa yang selama ini tertutupi pada helaian daun gebang atau lontar (baca: naskah), sebab itulah karya leluhur kita sendiri yang ditulis untuk dikaji generasi sepeninggalnya.
Pun. Leuwih luangan, kurang wuwuhan.
Depok, Februari-Maret 2011
[1] Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda, (Bandung: LKUP dan Universitas Padjadjaran, 1988) halaman 1.
[2] Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman, Khazanah Naskah; Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia (Jakarta: Ecole française d’Extrême-Orient dan Yayasan Obor Indonesia, 1999).
[3]
Salinan digitalisasi naskah proyek EAP yang terdapat di PNRI di
antaranya naskah lontar dari Ciburuy-Jawa Barat, Minang, Palembang, dan
Riau. Informasi lebih lengkap mengenai program tersebut dapat diakses
melalui situs http://www.bl.uk/about/policies/endangerdarch/, diakses
tanggal 25 Februari 2011
[4] Mengenai program CDATS-TUFS dapat dilihat di http://www.tufs.ac.jp/21coe/area/eng/, diakses tanggal 03 Maret 2011
[5]
Lihat Ekadjati, Edi. S, “Naskah Sunda: Sumber Pengetahuan Budaya Sunda”
dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, Jilid I (Yayasan
Kebudayaan Rancagé, 2006) halaman 198.
[6] Lihat Mikihiro Moriyama, Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003) hlm. 35.
[7] Aditia Gunawan (Peny), Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009).
[8] K.F. Holle, 1882, Tabel van Oud-en Nieuw-Indische Alphabetten. Bijdrage tot de Paleographie van Nederlandsch-Indie (Batavia: s’Hage, 1882) hlm. 12.
[9] Naskah lontar kropak 626 koleksi Perpustakaan Nasional RI.
[10] Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda, (Bandung: LKUP dan Universitas Padjadjaran, 1988).
[11] Tim Behrend (Ed), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara: Jilid IV, Perpustakaan Nasional RI, 1998) hlm. xi.
[12] Van der Tuuk dalam Mikihiro Moriyama, Op. cit., halaman 45.
[13] [Cohen Stuart], Eerste
Vervolg Catalogus der Bibliotheek en Catalogus der Maleische,
Javaansche en Kawi Handschriften van het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (Batavia, ‘s Hage: Bruining & Wijt & M. Nijhoff, 1872)
[14] Memed Sastrahadiprawira, Lijst van de in de bibliotheek van het BGKW; dan Korte Inhoud van enkele in de lijst voorkomende Soendase HSS, (Batavia, 1928), stensilan.
[15] Edi S. Ekadjati & Undang A. Darsa, Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga (Katalog
Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A) (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan Ecole française d’Extrême-Orient dan Yayasan Obor
Indonesia, 1999)
[16] Lihat Edi S. Ekadjati (peny), Direktori Edisi Naskah Nusantara (Jakarta: Manassa dan Yayasan Obor Indonesia, 2000).
[17] Lihat Pengantar Ajip Rosidi dalam Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Studi Sunda, 2010).
[18] Lihat artikel Holle, “Vlugtig Berigt Omtrent Eenige Lontar-Handschriften afkomstig uit de Soenda-landen” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) No. 16 tahun 1867 hlm. 450-70.
[19] Lihat P.J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang (Penerbit Djambatan, 1983)
[20] Lihat J.Noorduyn dan A. Teeuw, Three Old Sundanese Poems, (Leiden: KITLV Press, 2006)
[21] Lihat A. Teeuw “Old Sundanese Poems” (2001) dalam prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda 2001 hlm. 15.
[22] Lihat Chaedar Al-Wasilah “KIBS: Upaya Revitalisasi Jatidiri” dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Yayasan Kebudayaan Rancagé, 2006) halaman. xi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar