Sabtu, 14 Juli 2012

Esey Aditia Gunawan

  

Naskah Sunda: Khazanah, Akses, dan Identitas


Urang buka tutungkusan
Nu kahalang ku pipinding
Dina gebang séwu lontar
Dina tulis titis tulis
Maca uga na waruga
Atra sétra kanti sukma

Pendahuluan
Satu tahun yang lalu, tepatnya tanggal Juli tahun 2010, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA), sebuah organisasi profesi di Indonesia yang bergelut di bidang pernaskahan, mengadakan Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara (SIPN) yang ke-13. Tema yang diangkat dalam simposium tersebut kiranya cukup strategis, yaitu “Akses dan Identitas”.  Dengan mengangkat tema tersebut, kondisi dunia pernaskahan Nusantara dewasa ini dapat terlukiskan dengan cukup jelas, sekaligus memunculkan persoalan-persoalan baru yang mendorong kita untuk merumuskan pemecahan masalah seputar dunia pernaskahan dewasa ini.

Sebagaimana diketahui, naskah (manuskrip) sebagai benda yang memiliki nilai budaya masa silam, memberikan sumbangan informasi yang berharga bagi bangsa Indonesia, karena pada dasarnya naskah-naskah itu merupakan dokumen yang mengandung pikiran, perasaan, dan pengetahuan dari bangsa, suku bangsa, atau kelompok sosial budaya tersebut.[1] Perlahan tapi pasti, melalui penelitian-penelitian terhadap naskah nusantara, bagian-bagian informasi penting dari masa silam itu dapat terkumpulkan sehingga pada akhirnya membentuk identitas bangsa yang mandiri.


Langkah awal yang dapat membangkitkan gairah penelitian terhadap naskah Nusantara adalah dengan membuka akses yang seluas-luasnya terhadap keberadaannya yang tersebar di seluruh dunia, baik di lembaga penyimpanan naskah, maupun yang masih tersebar di kalangan masyarakat. Sebuah buku panduan susunan Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman yang cukup komprehensif menuju khazanah naskah sedunia telah terbit pada tahun 1999.[2]  Karya yang luar biasa itu merupakan panduan yang mengantarkan pembacanya mengetahui kekayaan Naskah Nusantara yang tersimpan di berbagai negara.

Menurut perkiraan, Naskah Nusantara berjumlah puluhan ribu, atau mungkin lebih, karena setelah memasuki milenium ketiga, berbagai proyek inventarisasi dan digitalisasi naskah yang belum tercatat dalam buku tersebut baru saja dimulai. British Library, misalnya, melalui program Endangerous Archive Program (EAP) telah meloloskan 12 program digitalisasi Naskah Nusantara sejak tahun 2006-2010, mencakup 12 tempat yang berbeda di seluruh Indonesia. Lebih dari seribu naskah telah dialih-mediakan, dan beberapa salinannya kini terdapat di lembaga-lembaga semisal Perpustakaan Nasional RI, Bayt Al-Qur’an, dan Museum-museum daerah tempat naskah tersebut ditemukan.[3] Demikian halnya dengan proyek yang didanai Centre for Documentation & Area-Transcultural Studies (C-DATS) di Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) Jepang yang telah menghasilkan beberapa katalog dan hasil digitalisasi yang memuat ratusan judul naskah. Melalui program ini, naskah-naskah yang terdapat di Palembang, Minang, dan Aceh (Ali Hasymi dan Tanoh Abee) dapat diakses dengan lebih mudah oleh masyarakat.[4] Hasil temuan-temuan mutakhir terhadap koleksi naskah yang belum tercatat sebelumnya itu meniscayakan kesempatan, sekaligus tantangan, bagi generasi pewaris kebudayaan saat ini untuk melakukan kajian-kajian secara lebih mendalam.

Lantas, bagaimana dengan keadaan naskah Sunda dewasa ini? Bagaimana akses kepada koleksi naskahnya? Dan sejauh mana sumbangan kajian naskah Sunda dalam membentuk identitas kesundaan? Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut secara mendalam, mengingat persoalan tersebut bukanlah persoalan sederhana, tetapi setidaknya, tulisan ini dapat dijadikan pengantar bagi siapa saja yang berminat mengkaji naskah Sunda secara lebih mendalam.

Khazanah
Naskah Sunda merupakan salah satu warna dari bianglala naskah Nusantara.  Berdasarkan katalogus, laporan penelitian, dan lain-lain, jumlah naskah Sunda cukup banyak, meski jumlahnya tidak sebanyak naskah Jawa dan Melayu. Menurut catatan Edi S. Ekadjati, jumlah naskah Sunda mencapai ribuan, dan sekitar 2500 naskah telah diinventarisasi[5].
Keberadaan Naskah Sunda saat ini tersebar baik di lembaga penyimpanan naskah maupun di masyarakat perorangan. Di lembaga penyimpanan naskah yang berada di luar negeri, dapat diketahui bahwa Universiteit Bibliotheek Leiden menyimpan 785 naskah, Inggris menyimpan 3 naskah, Swedia tercatat menyimpan 1 naskah. Sedangkan yang tersimpan di lembaga penyimpanan dalam negeri dapat diketahui bahwa Perpustakaan Nasional RI menyimpan 467 naskah, Museum Negeri Sri Baduga menyimpan sekitar 150 naskah, Museum Prabu Geusan Ulun-Sumedang 16 naskah, Museum Cigugur-Kuningan 18 naskah, Kabuyutan Ciburuy 27 naskah, dan Kraton Cirebon (Kasepuhan, Kanoman, Kaprabonan) sekitar 144 naskah.

Selain naskah koleksi lembaga, naskah koleksi perorangan telah dicatat dalam berbagai katalog. Tim dari EFEO dan Puslit Arkenas, pada tahun 1970-1980an mencatat 955 naskah-naskah Islam koleksi perorangan di Jawa Barat. Ekadjati (1988) juga mencatat 554 naskah perorangan. Bahkan boleh jadi, masih banyak lagi naskah yang masih tersimpan di masyarakat dan belum terinventarisasi.

Penyebaran naskah Sunda di lembaga-lembaga penyimpanan baik di dalam maupun luar negeri menunjukkan data yang cukup menarik. Naskah Sunda yang berada di luar negeri kebanyakan beraksara Jawa, di samping aksara Latin dan Arab pégon. Tetapi, naskah-naskah yang masih tersebar di masyarakat pada umumnya beraksara Arab Pégon dan tidak ada yang beraksara Jawa. Mikihiro Moriyama, ahli literasi Sunda dari Jepang, menjawab hal ini dengan cukup meyakinkan. Menurutnya, naskah-naskah dalam aksara Jawa dikumpulkan oleh orang Belanda karena pandangan mereka tentang bahasa Sunda.[6] Aksara Jawa atau biasa dikenal dengan istilah cacarakan dianggap sebagai aksara orang Sunda. Mereka rupanya mengesampingkan aksara Pégon, padahal aksara ini digunakan secara luas oleh masyarakat Sunda waktu itu. Keadaan demikian yang membuat Edi S. Ekadjati berkesimpulan, bahwa naskah yang berada di Leiden tidak dapat menerangkan dinamika kebudayaan sesungguhnya yang terjadi pada masyarakat Sunda.

Baik dari segi fisik maupun isinya, khazanah naskah Sunda cukup kaya. Naskah Sunda Kuna ditulis diatas daun lontar, daun gebang, bambu, dan kertas daluwang; sementara naskah Sunda periode klasik ditulis di atas kertas daluwang, kertas Eropa dan kertas pabrik. Jumlah naskah kertas lebih banyak dari naskah-naskah daun.

Kata lontar merupakan bentukan metatesis dari ron ‘daun’ dan tal ‘tal’. Dalam Sanghyang Sasana Maha Guru, teks Sunda Kuna dari abad ke 16, tulisan diatas daun lontar disebut carik ‘goresan’ dan fungsi bagi pembacanya yaitu untuk mendapatkan keutamaan. Sebagian besar teks-teks yang tertera dalam alas tulis ini berbentuk puisi berpola delapan suku kata.[7] Daun lontar ditulis dengan cara digores menggunakan pengutik (péso pangot). Untuk memunculkan warna hitam, ruang yang telah digores tersebut kemudian dilumuri dengan minyak dari kemiri yang telah ditumbuk dan dipanaskan. Sulit menentukan sejak atau sampai kapan naskah lontar dipergunakan sebagai alas tulis naskah Sunda, karena sejauh ini tidak ada satupun naskah lontar yang berangka tahun. Tetapi, dari kandungan isi naskah-naskah tersebut kita dapat mengetahui bahwa naskah lontar setidaknya dihasilkan dari masa periode pra-Islam.

Selain daun lontar, alas tulis daun yang digunakan menuliskan naskah Sunda (Kuna) adalah gebang. Dalam teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru (bagian ke-3), tulisan diatas daun gebang (sastra munggu ring gebang) disebut ceumeung ‘hitam’. Jelas kiranya, bahwa yang dimaksud gebang ini adalah apa yang disebut oleh para ahli kemudian sebagai nipah. Tulisan diatas gebang ditulis menggunakan tinta hitam. Menurut Holle, tinta tersebut merupakan tinta organik yang berasal dari hasil olahan tumbuhan nagasari dan damarsela, sementara alat tulisnya berupa pena dari lidi pohon aren (harupat).[8] Naskah tertua yang ditulis dalam media ini adalah Arjunawiwaha (kropak 641 koleksi Perpustakaan Nasional RI) yang berangka tahun 1256 saka (±1334 M).

Penggunaan daluang (Broussonetia papyryfera Vent) sebagai alas tulis nakah Sunda telah terjadi setidaknya dari abad ke-18. Hal tersebut berdasarkan pada naskah Waruga Guru yang ditulis dengan menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuna. Naskah WG ditulis diatas kertas daluang. Dalam tradisi penulisan Sunda Kuna, kata daluang disebutkan dalam teks Sanghyang Swawar Cinta[9]. Dalam teks tersebut, pengertian daluang merujuk pada ‘kulit kayu’ (daluwang kulit ning kayu). Dengan demikian, daluang bukan berarti pohonnya, melainkan kulit kayunya. Pohonnya sendiri oleh masyarakat Sunda disebut saéh.

Sepanjang sejarahnya, aksara yang diterakan dalam naskah Sunda ada 5 jenis aksara, yaitu aksara Sunda Kuna dan aksara Buda (Gunung) untuk naskah Sunda periode pra-Islam, serta aksara Arab Pégon, aksara Cacarakan (Sunda-Jawa), dan aksara Latin untuk naskah-naskah Sunda klasik. Bahasa yang digunakan dalam naskah Sunda ialah bahasa Sunda, Sunda Kuna, Jawa, Jawa Kuna, Arab, dan Melayu. Bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna digunakan pada naskah-naskah daun lontar, nipah, dan bambu atau dari periode Kuna (Abad 14-18). Sementara bahasa Sunda (baru), Jawa (baru), Arab, dan Melayu digunakan pada naskah-naskah dari periode Klasik (Abad 18 - awal abad 20).

Isi naskah Sunda bermacam-macam. Beberapa penyusun katalog telah berupaya melakukan pengelompokan isi naskah. Ekadjati membagi naskah berdasarkan isinya ke dalam kelompok agama, etika, hukum/adat-istiadat, mitologi/legenda, pendidikan, pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, sejarah, seni.[10] Sementara Darsa dan Ekadjati mengelompokkan naskah Sunda yang terdapat di lima lembaga di Jawa Barat berdasarkan isi, meliputi: Sejarah, Islam, Sastra, Primbon dan Mujarobat, Adat Istiadat, dan Lain-lain.

Akses
Sebelum kedatangan Belanda di Indonesia, naskah Sunda tersimpan di lembaga-lembaga tradisional seperti pesantren dan kabuyutan. Belanda lalu membentuk lembaga ilmiah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen (BGKW) pada tahun 1778, tetapi baru pada tahun 1845, dibawah kepemimpinan van Hoevel, naskah-naskah dari wilayah Nusantara, termasuk Sunda, dikumpulkan dan diakuisisi oleh lembaga tersebut demi kepentingan Kolonial.[11]

Proses pengumpulan naskah pada waktu itu rupanya tidak selalu mudah, bahkan sering harus dilakukan melalui pejabat-pejabat Pribumi di wilayah priangan yang memiliki hubungan baik dengan elite Belanda. Wiranatakusumah IV (Bupati Bandung), R.A.A Kusumadiningrat (Bupati Kawali), Muhammad Moesa (1822-1886), Hasan Mustapa (Penghulu Bandung), R.A.A. Kusumaningrat (Bupati Cianjur) adalah beberapa penyumbang naskah Sunda dalam jumlah yang cukup banyak. Kesulitan mendapatkan naskah, demi mendapatkan gambaran tentang kebudayaan Sunda, itu pernah diungkapkan Van der Tuuk:

“…Saya percaya tetap tidak banyak yang bisa kita katakan selama kaum Muslim yang beradab itu (lazimnya mereka sangat saleh) tidak sudi memperlihatkan kepada kita, orang kafir, jenis sastra yang mereka miliki karena takut miliknya berpindah tangan atau dinodai.”[12]
Sejak pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20, melalui usaha para cendikiawan Belanda yang memiliki kedekatan dengan pejabat pribumi seperti K.F. Holle, C.M. Pleyte, J.L.A. Brandes, Snouck Hurgronje, naskah-naskah Sunda mulai terkumpul di Batavia (BGKW) dan Leiden (Universitet Bibliotheek). Setiap naskah yang diakuisisi BGKW dapat diikuti dalam laporan tahunan Notulen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen.

Selain dari laporan tahunan tersebut, naskah-naskah Sunda juga diidentifikasi dan diperikan dengan lebih rinci, terutama dalam terbitan-terbitan Belanda. K.F. Holle mengumumkan tiga naskah Sunda Kuna pemberian Raden Saleh dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige Lontar-Handschriften Afkomstig uit de Soenda-landen, door Radhen Saleh aan het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten Geschenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawali (1867). Tentu, yang diupayakan Holle waktu itu sebenarnya merupakan upaya awal pendeskripsian naskah yang diakuisisi BGKW.

Pada tahun 1872, Cohen Stuart, kurator sekaligus anggota eksekutif BGKW, untuk pertama kalinya menyusun sebuah katalog naskah yang dimiliki lembaga tersebut secara lengkap. Ia menyusun daftar seluruh naskah yang tersimpan di lembaga tersebut, termasuk sekitar 21 naskah Sunda Kuna yang tersimpan di peti.[13]

Baru sekitar 56 tahun setelah terbit katalog Cohen Stuart, R. Memed Sastrahadiprawira, sastrawan Sunda terkemuka, menjadi orang Sunda pertama yang menyenaraikan 186 naskah Sunda yang dimiliki oleh BGKW. Katalognya yang ditulis dalam bahasa Belanda itu terbagai menjadi dua bagian, yaitu daftar naskah dan keterangan dari daftar naskah tersebut.[14] Memed juga mencatat keterangan dan rujukan naskah pada terbitan atau katalog-katalog lain yang berkaitan dengan daftar naskah.

Terbukanya akses terhadap naskah Sunda dalam jumlah yang cukup banyak tidak terlepas atas jasa Edi S. Ekadjati, seorang pakar Sejarah Sunda. Sejak tahun 1980-an ia telah mulai menginventarisasi naskah-naskah Sunda, baik yang tersimpan di lembaga penyimpanan naskah maupun masyarakat perorangan di Jawa Barat. Hasil inventarisnya pada tahun 1983 kemudian ditebitkan pada tahun 1988.

Kondisi naskah Sunda mulai memburuk dan mulai menuju kerusakan. Karena itu, pada tahun 1990-an, naskah-naskah Sunda yang telah dicatat dan diinventarisasi delapan tahun sebelumnya itu kemudian dibuatkan salinan dalam bentuk mikrofilm. Proyek ini menghasilkan 51 rol mikrofilm, mencakup kurang lebih 1800 naskah. Naskah-naskah yang dimikrofilmkan tersebut dibuat juga daftarnya dalam katalog yang disusun oleh Edi. S. Ekadjati & Undang A. Darsa[15]. Tetapi dari 50 rol itu, hanya 30 rol atau sekitar 1040 naskah saja yang didaftarkan. Mikrofilm tersebut dapat diakses di Perpustakaan Nasional RI, Arsip Nasional RI, EFEO Paris, dan di Southeast Asian Project Microform, Chicago, Amerika Serikat.

Memasuki Milenium ketiga, era mikrofilm digantikan oleh era digital. Sejak tahun 2003, lembaga-lembaga penyimpanan naskah seperti Perpustakaan Nasional RI melaksanakan kegiatan digitalisasi naskah, termasuk di antaranya naskah Sunda. Sementara dari kalangan akademisi, tercatat ada dua proyek kegiatan digitalisasi yang disponsori oleh British Library, yaitu digitalisasi naskah Ciburuy (27 naskah) dan naskah Cirebon (13000 halaman naskah). Selain di lembaga donor, salinan hasil digitalisasi naskah Ciburuy saat ini terdapat di Perpustakaan Nasional RI, sementara hasil digitalisasi naskah Cirebon terdapat di Bayt Al-Qur’an dan masyarakat pemilik naskah.

Jumlah naskah Sunda yang cukup melimpah itu ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah penelitian yang dihasilkan. Sampai tahun 2000, hanya sekitar 292 judul naskah yang telah diteliti[16]. Artinya, terlepas dari belum lengkapnya data jumlah penelitian naskah pada waktu itu, tetapi secara kuantitatif, kesempatan penelitian atas naskah Sunda masih sangat terbuka.

Identitas
Setelah era otonomi daerah menggantikan era sentralistik, orang Sunda dan suku-suku lain di Indonesia mulai menunjukkan perhatian pada etnisitasnya. Dan persoalan pertama yang sering diperbincangkan dalam berbagai seminar atau diskusi belakangan ini adalah ‘pencarian kembali’ akar-akar kebudayaan Sunda yang selama ini seolah-olah tercerabut oleh berbagai persoalan pusat. Tentu, upaya pencarian sekitar identitas ini perlu mengindahkan sumber-sumber tulisan dan sumber-sumber lisan yang selama ini belum sempat dikaji lebih jauh.

Agaknya dalam keadaan inilah, naskah sebagai salah satu sumber pengetahuan kolektif masyarakat Sunda dalam bentangan sejarah masa lalu, memiliki peranan yang sangat penting. Dalam perkembangannya, kajian-kajian terhadap naskah telah memberikan sumbangan yang cukup penting dalam membentuk identitas tersebut.

Hal demikian setidaknya terjadi pada tahun 1957, ketika Rukasah S.W (1928-1995) dengan mempergunakan nama Sungkawa menulis karangan “Ari Urang Sunda bogaeun aksara sorangan?” (Apakah orang Sunda memiliki aksara sendiri?) dalam majalah “Kiwari” yang dipimpinnya[17]. Artikel tersebut ditulis setelah membaca artikel Pleyte yang berjudul “Een Pseudo–Padjadjaransche Kroniek” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land-en Volkenkunde (TBG) pada tahun 1914 yang dilampiri edisi facsimile naskah Waruga Guru. Nada pertanyaan yang disampaikan dalam artikelnya itu menggambarkan situasi kebingungan yang dialami oleh penulis, atau bahkan masyarakat Sunda, karena sampai saat itu yang dianggap aksara Sunda dan dipelajari di sekolah-sekolah di Jawa Barat adalah aksara Jawa.

Hal ini membuktikan bahwa sampai pertengahan abad ke-20 orang Sunda sendiri masih diselimuti keraguan tentang aksara sebagai bagian dari identitas budayanya. Hal ini cukup mengherankan, mengingat penelitian terhadap naskah Sunda Kuna yang menggunakan aksara tersebut telah dimulai oleh Holle pada pertengahan abad ke-19[18]. Holle sendiri menyebut aksara yang digunakan pada naskah-naskah lontar sebagai oud Sundanesche sementara para sarjana Belanda yang lain ragu-ragu untuk menyebutkan bahwa naskah-naskah daun itu ditulis menggunakan aksara Sunda Kuna, padahal aksara yang digunakan pada naskah-naskah pra-Islam dari skriptorium Jawa Barat jelas dapat dibedakan dari naskah Jawa Kuna dan Bali serta memiliki ciri paleografis yang cukup menonjol. Seiring dengan semakin banyaknya penelitian naskah Sunda Kuna, maka anggapan yang ditanamkan ahli-ahli Belanda bahwa orang Sunda tidak memiliki aksara sendiri dan meminjam aksara carakan dari Jawa, dipatahkan secara definitif.

Demikian halnya dengan kesusastraan Sunda, terutama berkaitan dengan konsepsi kesusastraan. Pada jaman kolonial, orang Belanda menganggap Sunda tidak memiliki kesusastraan. Sementara, konsepsi-konsepsi kesusastraan Sunda belum terumuskan secara komprehensif dan masih meneruskan konsepsi yang ditanamkan Belanda. Keadaan demikian meniscayakan kita untuk menggali lebih jauh sumber dari periode yang lebih gelap dalam sastra Sunda. Periode gelap ini penulis kira dapat dirunut dari periode sebelum arus modernisasi yang dibawa oleh Belanda. Sumber-sumber yang perlu digali dari periode tersebut tiada lain berupa tradisi lisan dan tradisi manuskrip. Upaya Zoetmulder dalam mengkaji sastra Jawa Kuna[19] kiranya patut ditiru oleh para akademisi Sunda, sehingga benang merah periodisasi dan konfigurasi kesusastraan Sunda dapat dieksplorasi lebih jauh.

Upaya J. Noorduyn, yang dilanjutkan oleh sobatnya, A. Teeuw pada gilirannya telah membukakan cakrawala baru tentang kesusastraan Sunda (Kuna).[20] Melalui telaahnya atas tiga puisi Sunda Kuna: Kisah Para Putera Rama dan Rahwana, Pendakian Sri Ajnyana, dan Perjalanan Bujangga Manik, A.Teeuw berani menegaskan bahwa:
Yet I dare to say that these poem in many place are high value. I think that no present-day reader can fail to be struck by the poetic quality of certain fragments an (sequences of) verses[21]

Dari gambaran singkat di atas, jelaslah bahwa naskah bukan semata-mata sumber dari periode masa lalu, tetapi dapat menjadi sumber “baru” dalam membuka dimensi pengetahuan kita akan kebudayaan Sunda masa lalu. Pada akhirnya, melalui hasil jerih payah pengkajian naskah, kita dapat – meminjam motto majalah Sunda Cupumanik – nyungsi Sunda nu mandiri “mencari Sunda yang mandiri”.

Penutup
Sebagai penutup, beberapa saran untuk merevitalisasi naskah kiranya dapat diajukan. Pertama, jika kita percaya bahwa naskah tidak hanya warisan leluhur, melainkan titipan anak cucu di generasi mendatang, maka perlu dilakukan upaya yang berkelanjutan untuk mengidentifikasi, menginventarisasi, dan membuka akses terhadap keberadaan naskah-naskah Sunda. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Chaedar Al-Wasilah, bahwa salah satu kelemahan pewarisan budaya adalah dokumentasi budaya.[22] Mungkin seperti itulah gambaran yang terjadi dengan naskah Sunda. Masyarakat pemilik dokumentasi budaya, dalam hal ini naskah, masih ragu untuk membukanya pada orang lain, meski pemilik tersebut tidak dapat membaca isinya. Pada akhirnya, naskah-naskah itu tersimpan sebagai ‘benda’ warisan, bukan pengetahuan yang diwariskan. Perhatian utama kiranya perlu diarahkan kepada naskah-naskah yang masih tersimpan di kalangan masyarakat perorangan di Jawa Barat. Upaya inventarisasi naskah per-kabupaten di Jawa Barat seperti yang terjadi pada periode 80-an, perlu diteruskan. Upaya inventarisasi tersebut dapat disandingkan dengan upaya digitalisasi naskah melalui pemindaian atau pemotretan.

Kedua, upaya-upaya mengungkap isi dan kandungan naskah melalui studi filologi perlu terus ditingkatkan. Kondisi kekinian juga menuntut kajian-kajian interdisipliner naskah. Kajian naskah perlu disandingkan dengan ilmu-ilmu terapan semisal kedokteran, pertanian, arsitektur, seni, bahasa, sastra dan lain-lain.

Ketiga, perlu adanya pewarisan ilmu pernaskahan, terutama berkenaan dengan naskah Sunda, kepada generasi muda. Ini juga persoalan yang cukup serius, karena profesi filolog boleh jadi dianggap sebagai profesi yang ‘tidak menjanjikan’. Filolog hanya dibutuhkan oleh museum, perpustakaan, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penyimpan naskah. Di sisi lain, beban yang dipikul para filolog tentu cukup berat apabila melihat jumlah naskah yang sangat banyak.

Keempat, perlu adanya pusat dokumentasi naskah Sunda yang terintegrasi. Dalam hal ini, lembaga-lembaga penyimpanan naskah, lembaga-lembaga pendidikan tinggi, dan pemerintah daerah perlu duduk bersama untuk mewujudkan hal tersebut. Hal ini diperlukan untuk menghimpun data naskah berikut hasil penelitiannya, sehingga pada akhirnya dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang naskah Sunda sekaligus membukakan jalan bagi para peneliti baru yang hendak mengkaji naskah.

Kalimat yang penulis kutip di atas adalah isi lirik Kidung Pajajaran, salah satu di antara sekian banyak judul tembang Cianjuran. Meski tidak mengetahui secara pasti siapa pengarangnya, tetapi penulis sangat mengagumi lirik itu. Pastilah penulisnya seorang Sunda yang memiliki visi dan kesadaran sejarah yang tinggi. Secara keseluruhan isi lirik di atas adalah ajakan untuk membuka apa yang selama ini tertutupi pada helaian daun gebang atau lontar (baca: naskah), sebab itulah karya leluhur kita sendiri yang ditulis untuk dikaji generasi sepeninggalnya.
Pun. Leuwih luangan, kurang wuwuhan.

Depok, Februari-Maret 2011


[1] Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda, (Bandung: LKUP dan Universitas Padjadjaran, 1988) halaman 1.

[2] Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman, Khazanah Naskah; Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia (Jakarta: Ecole française d’Extrême-Orient dan Yayasan Obor Indonesia, 1999).

[3] Salinan digitalisasi naskah proyek EAP yang terdapat di PNRI di antaranya naskah lontar dari Ciburuy-Jawa Barat, Minang, Palembang, dan Riau. Informasi lebih lengkap mengenai program tersebut dapat diakses melalui situs http://www.bl.uk/about/policies/endangerdarch/, diakses tanggal 25 Februari 2011

[4] Mengenai program CDATS-TUFS dapat dilihat di http://www.tufs.ac.jp/21coe/area/eng/, diakses tanggal 03 Maret 2011

[5] Lihat Ekadjati, Edi. S, “Naskah Sunda: Sumber Pengetahuan Budaya Sunda” dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda, Jilid I (Yayasan Kebudayaan Rancagé, 2006) halaman 198.

[6] Lihat Mikihiro Moriyama, Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003) hlm. 35.

[7] Aditia Gunawan (Peny), Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009).

[8] K.F. Holle, 1882, Tabel van Oud-en Nieuw-Indische Alphabetten. Bijdrage tot de Paleographie van Nederlandsch-Indie (Batavia: s’Hage, 1882) hlm. 12. 

[9] Naskah lontar kropak 626 koleksi Perpustakaan Nasional RI.

[10] Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda, (Bandung: LKUP dan Universitas Padjadjaran, 1988).

[11] Tim Behrend (Ed), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara: Jilid IV, Perpustakaan Nasional RI, 1998) hlm. xi.

[12] Van der Tuuk dalam Mikihiro Moriyama, Op. cit., halaman 45.

[13] [Cohen Stuart], Eerste Vervolg Catalogus der Bibliotheek en Catalogus der Maleische, Javaansche en Kawi Handschriften van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Batavia, ‘s Hage: Bruining & Wijt & M. Nijhoff, 1872)

[14] Memed Sastrahadiprawira, Lijst van de in de bibliotheek van het BGKW; dan Korte Inhoud van enkele in de lijst voorkomende Soendase HSS, (Batavia, 1928), stensilan.  

[15] Edi S. Ekadjati & Undang A. Darsa, Jawa Barat: Koleksi Lima Lembaga (Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole française d’Extrême-Orient dan Yayasan Obor Indonesia, 1999)

[16] Lihat Edi S. Ekadjati (peny), Direktori Edisi Naskah Nusantara (Jakarta: Manassa dan Yayasan Obor Indonesia, 2000).

[17] Lihat Pengantar Ajip Rosidi dalam Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Studi Sunda, 2010).

[18] Lihat artikel Holle, “Vlugtig Berigt Omtrent Eenige Lontar-Handschriften afkomstig uit de Soenda-landen” dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) No. 16 tahun 1867 hlm. 450-70.

[19] Lihat P.J. Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang (Penerbit Djambatan, 1983)

[20] Lihat J.Noorduyn dan A. Teeuw, Three Old Sundanese Poems, (Leiden: KITLV Press, 2006)

[21] Lihat A. Teeuw “Old Sundanese Poems” (2001) dalam prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda 2001 hlm. 15.

[22] Lihat Chaedar Al-Wasilah “KIBS: Upaya Revitalisasi Jatidiri” dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Yayasan Kebudayaan Rancagé, 2006) halaman. xi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar